PKMK-Yogyakarta, Kebijakan Pendidikan Dokter Spesialis atau Residensi masih menjadi tantangan di Indonesia hingga saat ini. Residen diposisikan sebagai peserta didik yang seharusnya juga mendapatkan hak-hak sebagai karyawan, seperti mendapatkan honorarium sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan dan hak lainnya sesuai dengan peraturan yang sebelumnya diatur dalam UU Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013 dan saat ini tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan Tahun 2023.

Pada webinar kali ini, Guru Besar FK-KMK UGM, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D, menyampaikan pandangannya terkait kebijakan dokter spesialis melalui perspektif kajian UU Kesehatan 2023. Diketahui terdapat 2 jalur masuk residen, yaitu melalui universitas dan Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSPPU) yang harus tetap ada keterlibatan dengan universitas di dalamnya. Pada UU Kesehatan 2023 tidak ada perbedaan hak dan kewajiban terhadap residen yang masuk dari dua jalur tersebut. Terbukanya dua jalur masuk ini sejalan dengan praktik global pendidikan residen di beberapa negara lain.
Laksono, menekankan pentingnya riset implementasi kebijakan untuk memonitor dan mengevaluasi apakah ketentuan undang-undang—terutama yang menyelaraskan standar residensi Indonesia dengan praktik global—dapat diterapkan secara efektif. Diskusi tersebut juga menyoroti perlunya kolaborasi antara perguruan tinggi, rumah sakit, dan kolegium untuk menjamin mutu dan mengatasi tantangan historis seperti isu penggajian residen.

Guru Besar Pendidikan Kedokteran dan Bioetika FK-KMK UGM, Prof. dr. Rr. Titi Savitri Prihatiningsih MA., M. Med.,Ed., Ph.D., menanggapi bahwa di Indonesia masih terdapat pro dan kontra terkait penyelenggaraan pendidikan residen dikarenakan adanya perbedaan regulasi, jalur University based mengacu pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi, sedangkan jalur Hospital based (RSPPU) mengacu pada Undang-Undang Kesehatan 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Terlebih, terdapat Peraturan Presiden terbaru tentang tata kelola penyelenggaraan tentang di Kementerian Pendidikan Tinggi, yang menyebutkan bahwa pengelolaan hanya sebatas pendidikan tinggi jenis akademik dan vokasi, tidak menyebutkan adanya pendidikan profesi. Hal ini dapat menjadi poin kunci bahwa penyelenggaraan pendidikan profesi dapat dilakukan oleh badan atau lembaga di luar Universitas.

Menurut Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia, dr. Mohammad Syahril, Sp.P., MPH, harus ada pengawalan yang terstruktur dari seluruh stakeholders, baik Universitas, Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU), Kolegium, serta Konsil Kesehatan Indonesia, mulai dari awal masuk hingga selesai. Sehingga diskusi bersama para stakeholders terkait perlu dilakukan untuk menyelaraskan regulasi yang telah berjalan dan rekomendasi yang akan diusulkan.
Reporter: Firda Alya dan dr Arvianto Nugroho (PKMK FK-KMK UGM)
